Pernakah anda melihat betapa indahnya negara kita ketika “hukum” diteggakkan, di mana hukum bukan hanya berlaku bagi rakyat kecil saja tetapi sampai pada kalangan konglomerat dan pejabat? Film yang kini sedang tayang,” Ketika” mungkin dapat memberikan gambaran. Film garapan bang Deddy mizwar, sutradara dan juga seoarang aktor senior yang sukses menggarap, “Kiamat sudah dekat” itu, menggambarkan bagaimana KKN terjadi antara para pejabat dan para konglomerat. Namun, ketika hukum diteggakkan di negeri ini tanpa adanya diskriminasi siapapun dia, pejabatkah ? konglomeratkah? Rakyat kecil? Tua ataupun anak-anak? maka, kita akan melihat seorang konglomerat jatuh miskin, seorang anak konglomerat menanyakan kepada salah seorang pembantunya “ Bagaimana rasanya miskin?”. Dan juga kita akan melihat bagaimana anak konglomerat mengatakan “ Bahwa anak orang kaya tidak pernah mendapatkan cinta yang tulus!” buktinya ketika dia kaya selalu banyak yang mendekati namun, ketika jatuh miskin semuanya menjauhi, itulah salah satu ucapan sinis dari Tiara putri dari Tajir Saldono sang konglomerat dalam film” Ketika”.
Dalam film itu menceritakan pula bagaimana seorang konglomerat yang tidak memiliki apa-apa kemudian karena kedekatannya dengan para pejabat, setingkat menteri, bahkan Presiden sekalipun, dia menjadi konglomerat yang kaya raya dan memiliki beberpa perusahaan dan anak perusahaan. Namun, hal ini tinggallah impian ketika law enforcement atau penegakkan hukum di negara kita ini berjalan, sehingga setiap warga negara mendapatkan haknya. Maka, sang konglomerat yang notabene dekat dengan para pejabat jatuh bangkrut, dan harus menjalani hukuman atas perbuatannya. Bahkan, negara menyita seluruh hak milik para konglomerat untuk kepentingan rakyak.
Begitulah sekelumit gambaran film, “Ketika”. Namun hal ini bisa menjadi kenyataan ketika hukum ditegakkan kalau tidak!, itu hanya merupakan isapan jempol dan hayalan belaka. Reformasi hukum bukan hanya dilakukan untuk para pejabat–pejabat kelas atas saja, dia harus dilakukan sampai keakar-akarnya, baik dari hakim, jaksa, pengacara atau para advokat, dan sistemnya. Karena kalau tidak demikian, mungkin benar apa yang dituduhkan kepada jaksa Agung “Abdurrahman sholeh”, yang dikatakan oleh salah seoarang anggota dewan sebagai “ustadz di kandang para maling”.
Kalau kita melihat fakta di lapangan memang hal demikian terjadi di negara kita, masih banyak para konglomerat yang melakukan kejahatan hukum, namun masih tetap bergentayangan bagaikan tak memiliki dosa apa-apa, ataupun dijerat hukum sehingga masuk buih. Kenyataannya selepas dari buih mereka masih tetap kaya raya, karena hanya jasad mereka saja yang dihukum namun, harta yang mereka curi tidak disita. Memang, saat ini pemerintah Indonesia sedang menggalakkan penegakkan hukum(law enforcement) namun hasilnya belum maksimal, karena masih adanya KKN antara para pejabat dan juga para konglomerat.
Maka, tidak heran ketika kepala kepolisian diganti dari Dai’ Bakhtiar ke Sutanto, banyak gebrakan baru yang dilakukan oleh pihak kepolisian, baik pemberantasan judi, obat-obat terlarang, namun, sayang hal ini hanya sebatas untuk para pelaku kelas bawah. Buktinya, ketika ada wawancara antara seorang pengecer judi togel di salah satu televisi swasta. dia mengatakan “bahwa mereka sering ditangkap tapi ketika bosnya menebusnya mereka dibebaskan kembali”. Hal ini menggambarkan bahwa masih adanya KKN antara pelaku kejahatan itu sendiri dengan para pejabat. Maka, bisa dibenarkan pendapat Donald Black (dalam The Behavior of Law, 1976) Even the smallest degree of intimacy, such as eye contact with jurors, strengthens a case (bahkan kadar keintiman yang paling kecil, seperti kontak mata dengan para anggota dewan juri akan memperkuat suatu kasus.
Di era tahun 1970-an, seorang pakar hukum Amerika Serikat, David Trubek, meneriakkan satu pertanyaan yang bernada kekecewaan terhadap "krisis hukum" di negaranya. "Apakah hukum sudah mati?" Tentu saja hal demikian banyak dirasakan oleh sebagian besar masyarakat indonesia yang merasa kecewa atas peneggakkan hukum di negara kita ini, yang mereka rasakan adalah hukum hanya milik orang-orang kelas bawah, sedangkan bagi para pejabat dan juga konglomerat hukum itu tidak berlaku.
Selama ini memang kita merasakan bahwa keadilan hanya milik mereka yang beruang atau golongan the have, sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki kekuasaan dan bahkan tergolong dalam taraf level bawah selalu menjadi korban dari hukum itu tersebut. Maka, wajarlah timbulnya sikap anarki yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang merasa tidak diberlakukan dengan adil, sehingga timbulnya pengadilan jalanan atau pengadilan rakyat, seperti pembakaran, pembunuhan, atau pemukulan para tersangka langsung ditempat kejadian perkara, tanpa harus membawanya ke pihak yang berwenang, hal itu timbul karena sikap ketidakpercayaan kepada pihak yang berwajib, yang cenderung membela mereka yang ber-uang.
Kita akhirnya bertanya, sebenarnya hukum itu untuk apa? Tentu saja hukum bukan untuk hukum, melainkan untuk masyarakat. Dan patut disadari keberadaan hukum itu salah satunya adalah untuk mewujudkan rasa keadilan. Dan hubungan antara hukum dan hati nurani atau moralitas, merupakan hubungan yang abadi. Memang benar bahwa dengan hati nurani saja tidak mungkin menyelesaikan kasus hukum. Tentu saja dibutuhkan aturan hukum dan proses hukum tertentu. Namun demikian, aturan hukum dan proses hukum tidak boleh mengabaikan rasa keadilan warga masyarakat, yang merupakan benih yang menyebabkan lahirnya hukum itu sendiri, tidak ada sesuatu di alam ini yang lahir tanpa tujuan tertentu.
Mafia peradilan masih banyak berkeliaran di mana-mana, seorang mau membayar jutaan rupiah bahkan ratusan juta rupiah untuk para pengacara, hakim dan jaksa dengan syarat kasusnya harus diselesaikan tanpa adanya hukuman yang berarti. Mungkin kita banyak menyaksikan fenomena dalam negara kita, bagaimana seorang yang benar-benar bersalah dihadapan hukum dan juga menurut masyarakat, toh akhirnya divonis bebas oleh pengadilan. Atau juga mereka yang divonis bersalah oleh pengadilan namun hukumannya tidak sesuai dengan kejahatannya. Tidak demikian dengan pencuri ayam yang mati dipukuli masyarakat!.
Di Amerika Serikat untuk mewujudkan agar vonis hakim secara optimal benar-benar sesuai dengan rasa keadilan masyarakat luas, pengadilan beberapa negara bagian disana mulai mempraktikkan penggunaan alat bukti yang dinamakan pool evidence, yaitu pembuktian dengan menggunakan jajak pendapat di kalangan masyarakatnya, dalam kasus-kasus besar. Sehingga hal ini bisa mempengaruhi keputusan hakim, walau sebenarnya hal demikian tidak seharusnya dilakukan karena seorang hakim adalah bebas untuk memutuskan perkara sesuai dengan kepastian hukum yang ada dan juga melihat rasa keadilan, namun hal itu muncul karena timbulnya rasa ketidak percayaan terhadap para hakim.
Mungkin kita perlu mengingat imbauan tokoh hukum yang sangat terkenal di dunia hukum, Roscoe Pound, yang mengajak para pengacara untuk: let us not become legal monks (Marilah untuk tidak menjadi "pendeta-pendeta" hukum), yang maksudnya marilah meninggalkan cara berpikir yang terlalu dogmatis, yaitu sesuai dengan kepastian hukum saja tanpa harus melihat rasa keadilan bagi masyarakat. Seorang pengacara senior Amerika Serikat, Mark H McCormick menulis suatu buku yang berjudul The Terrible Truth about Lawyers. Salah satu yang menarik dari buku itu adalah pernyataan bahwa fakultas hukum bukanlah sesuatu yang dibutuhkan oleh seorang pengacara, dan di pihak lain, bahwa orang tidak membutuhkan fakultas-fakultas hukum untuk berpikir sebagaimana cara berpikirnya seorang pengacara.
Yang paling menarik dari uraian Mark H McCormick itu adalah bahwa, sangat sulit para pengacara untuk mengakui kapan mereka melakukan suatu kesalahan atau kapan mereka sekadar tidak tahu tentang sesuatu. Yang dianggap dosa tertinggi oleh pengacara hanyalah kehilangan kata-kata untuk permainan pasal-pasal undang-undang, secara optimal berusaha meyakinkan pengadilan dan publik tentang ketidaksalahan klien mereka. Richard S Posner dalam bukunya The Problem of Jurisprudence memperkuat dalil tersebut dengan mempertanyakan where will judges look for guidance once they have achieved independence from rank political interference
Ada 3 aspek pendekatan untuk membangun suatu sistem hukum dalam rangka modernisasi dan pembaharuan hukum, yaitu segi struktur (structure), subatansi (subastance) dan budaya hukum (legal culture) yang kesemuanya layak berjalan secara integral, simultan dan paralel.
Pertama, dari sisi structure (struktur) yang meliputi perbaikan segala kelembagaan atau organ-organ yang menyelenggarakan peradilan, sehingga terdapat minimalisasi terjadinya KKN. Birokrasi struktur peradilan menimbulkan mafia peradilan yang telah menjadi polemik peralihan milenium yang selalu tidak terpecahkan. Fungsi pengawasan peradilan terhadap para advokat ataupun administrasi legalitas advokat.
Kedua, substance menyangkut pembaharuan terhadap berbagai perangkat ketentuan normatif, pola dan kehendak perilaku masyarakat yang ada dalam sistem hukum tersebut. Pada era reformasi ini, pembaharuan terhadap substansi hukum mengarah kepada pendekatan kemasyarakatan, bukan lagi pada sisi legalistik formalis. Berlakunya ketentuan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih & Bebas Dari KKN maupun UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Pembaharuan Kekuasaan Kehakiman, kesemuanya merupakan perangkat normatif yang akomodatif dan berorientasi pada pendekatan masyarakat dengan menghindari semaksimal mungkin segala bentuk intervensi kekuasaan eksekutif terhadap yudikatif. Terlepas adanya sikap pro-kontra, dalam proses peradilan.
Namun, pada kenyataannya masih banyak kita temukan fenomena sebelum proses peradilan, kekuasaan masih menempatkan hukum sebagai komoditas politik, bahkan dijadikan kendaraan politik kekuasaan. justru mencerminkan merebaknya pendekatan intervensi politik terhadap kemandirian hukum. Eliminasi terhadap prinsip kepastian hukum dan proses beracara yang baik merupakan identifikasi bahwa hukum hanyalah sebagai roda bergulirnya kekuasaan politik.
Ketiga, legal culture (budaya hukum) merupakan aspek signifikan yang melihat bagaimana masyarakat menganggap ketentuan sebagai civic-minded sehingga masyarakat akan selalu taat dan sadar pentingnya hukum sebagai suatu regulasi umum. Budaya hukum ini berkaitan erat dengan soal etika dan moral masyarakat dalam mensikapi KKN. Masalah rendahnya moral dan budaya hukum inilah yang sangat penting dalam pembangunan hukum Indonesia, dan sangat mengganggu struktur dan substansi dari sistem hukum secara keseluruhan
Dengan nuansa positivisme hukum yang lebih kental, Thomas Hobbes menyatakan, "Perjanjian tanpa pedang hanyalah kata-kata kosong" Menurut Hobbes, harus ada penguasa yang kuat untuk bisa memaksakan hukum. Hukum kodrat tidak mempunyai kekuatan dan tidak menuntut kewajiban sehingga membiarkan individu dalam keadaan perang satu melawan yang lain
Tetapi tidak jarang, hukum yang semestinya sebagai instrumen justru menjadi tujuan itu sendiri. Banyak orang yang terpancing untuk berhenti pada hukum, melupakan tujuan (keadilan) yang hendaknya dicapai melalui sarana ini. Diskursus yang berkembang, seakan-akan tidak beranjak dari persoalan tafsir mengenai kepastian hukum. Dalam kehidupan hukum di negara kita, pada saat ini, wacana tersebut sering berlarut-larut, sehingga terkesan bahwa hukum itu sekadar permainan logika dan kata-kata atas tafsir aturan hukum yang berlaku.
Tak dapat disangkal, untuk mewujudkan keadilan diperlukan adanya kepastian hukum. Ketentuan hukum positif yang berubah-ubah jelas membuat keadilan semakin jauh dari jangkauan, bahkan dapat menimbulkan anarki dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi, apabila terlalu berat berpijak secara berlebih-lebihan pada kepastian hukum akan menimbulkan perlakuan bahwa manusia untuk hukum, bukan hukum untuk manusia. Apabila aturan hukum sudah mengatur sedemikian rupa mengenai sesuatu maka tidak ada pilihan lain kecuali harus tunduk, sekalipun rakyat dan negara harus dirugikan.
Penegakan hukum bergerak di antara dua kutub, yaitu keadilan dan kepastian hukum. Ada yang lebih menekankan kepada aspek keadilan, sebaliknya ada yang menitikberatkan kepada kepastian hukum. Yang ideal adalah bagaimana bisa menciptakan keadilan yang berkepastian hukum atau mewujudkan kepastian hukum yang mempunyai bobot keadilan. Namun, itu tidak mudah.
Ketika kepastian hukum yang menciptakan keadilan telah tewujud di negara kita ini, mungkin gambaran film ,Ketika, yang disutradarai bang Deddy mizwar serta dibantu oleh aktor-aktor senior seperti Rano Karno, Didi Petet dan Lydia Kandou. Menjadi kenyataan. Kita selalu berharap agar hal demikian bisa membangun watak negeri ini yang notabene Negara Hukum.
Wallahu A’lam Bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar