Akhir-akhir ini kekerasan, pembunuhan, bom bunuh diri dan tindak anarkhisme terhadap kelompok dan agama lain semakin kerap mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. Mungkinkah aneka tindakan amoral tersebut merupakan buah yang harus dipetik dari khotbah-khotbah kebencian yang pernah disampaikan sejumlah pemimpin agama?
Dari berbagai opini di media massa, mayoritas pemimpin dan tokoh agama dan masyarakat berjuang ekstra keras bagaimana mereka dapat membangun suatu perdamaian dan pertemuan antar agama-agama yang berbeda-beda secara otentik dengan mengedepankan universalitas ajaran agamanya tanpa menghilangkan keunikan dan kekhasan masing-masing agama. Melalui dialog antar agama, ataupun diskusi-diskusi.
Namun ada saja pemimpin dari masing-masing agama, yang mencoba merusak perdamaian dan persahabatan yang sudah terjalin dengan membongkar lagi kejelekan, aib, konflik dan permusuhan antaragama yang terjadi pada masa ekspansi Muslim ke Eropa, Perang Salib dan sistem penyiaran agama yang dapat membuka kembali luka-luka agamis yang pernah terjadi. Bisa jadi kekerasan, pembunuhan dan aksi anarkhis terhadap kelompok lain merupakan buah dari pemberitaan yang keliru tentang ajaran agama.
Sudah saatnya para pemimpin agama dan tokoh agama menyetop ajaran kebencian dan permusuhan terhadap agama lain pada umatnya. Dunia akan lebih layak dihuni bila para pemimpin agama dan tokoh agama membangun sikap pemaaf, persahabatan dan persaudaraan antar suku, agama, ras dan antargolongan.
Pemaksaan terhadap keimanan akan menimbulkan dua dampak yang kedua-duanya buruk. Pertama, terjadi ketegangan antara pihak yang memaksa dengan pihak yang dipaksa. Kedua, akan muncul kemunafikan (hipokrasi). Seseorang yang beragama karena terpaksa pastilah menjadi orang yang tak ikhlas dan secara diam-diam membenci agama yang dianutnya.
Dakwah universal
Sesungguhnya ajaran Islam yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, melalui perantara Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa Sallam, merupakan peyempurna ajaran-ajaran sebelumnya, dan Allah menjadikan ajaran ini untuk semua manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai Islam menjadi agama dan merupakan sebuah ajaran yang sempurna bagi manusia. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an:” Pada hari ini Telah kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Ku ridhai Islam itu menjadi Agama bagimu.”(Al-Maidah: 3)
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, diutus ke muka bumi ini untuk semua manusia sebagai mana Allah Subhanahu wa Ta’ala, berfirman:” Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”( Saba’:28) dan ayat selanjutnya mengatakan “Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” ( Al- Anbiya: 107), berbeda dengan Nabi-Nabi sebelumnya yang diutus oleh Allah hanya untuk kaum dan golongannya, hal ini menunjukan bahwa Islam merupakan suatu ajaran yang universal.
Adalah perjalanan dakwah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang menyerukan dakwah secara menyeluruh tanpa harus melihat golongan ataupun jabatan, warna kulit baik hitam maupun putih, atau kepada strata seseorang baik kaya ataupun miskin. Namun, pada awalnya dakwah ini dilakukan secara tersembunyi, kemudian secara terang-terangan, dan setelah hijrah ke Madinah beliau memulai dakwahnya dengan mengirimkan delegasi kepada para pemimpin dan raja- raja pada saat itu, seperti Hiraklius pemimpin Roma, Kisra pembesar Paris, serta Mukaukis penguasa Mesir dan juga Iskandariyah pada saat itu, dan banyak lagi yang dikirimkan kepada raja- raja pada saat itu.
Ini merupakan sebuah bukti bahwa Islam adalah agama untuk semua manusia, sejak diperintahkannya hingga kini. Dengan ini kita bisa menjustifikasi bahwa sesungguhnya hubungan antara Muslim dan nonMuslim pada awalnya sebuah perdamaian. Namun permusuhan dan perdamaian antara Muslim dan nonMuslim akan lebih jelas setelah mengetahui sikap ummat dan juga negara pada saat itu terhadap agama Islam, antara menerima atau menolak ajaran agama ini. Apabila menerima dan juga tidak memerangi agama Islam maka perdamaianlah yang terjadi, tetapi apabila memerang agama ini hal sebaliknya yang terjadi. Sebagaimana piagam Madinah, yaitu perjanjian antara kaum Muslim Madinah dengan Yahudi untuk membangun komunikasi yang tidak monolitik tidak antar kita sendiri, tetapi lebih untuk membangun komunikasi antar lapisan masyarakat, juga mengembangkan kemampuan masyarakat untuk bermediasi, bernegoisasi, musyawarah dan kekeluargaan, yaitu tetap menjaga kepercayaan masing-masing, menjaga dari serangan musuh, tidak memaksa orang lain untuk mengikuti ajarannya, namun sayang orang Yahudi berkhianat maka peperanganlah yang terjadi. DR al- Ganimi berpendapat:” Sesungguhnya hubungan Negara Islam dengan negara lain yang bersebrangan dengannya tergantung bagaimana siyasat negara-negara Islam tersebut, dan itu adalah sesuatu yang wajar dalam perpolitikan antar negara, dan apabila berjalan sesuai dengan kesepakatan sebagaimana Allah berfirman dalam al- Qur’an:”Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak juga mengusir kamu dari negrimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang–orang yang berlaku adil”( Al-Mumtahanah:8) .
Bukankah kita selalu mengatakan bahwa pemaksaan adalah sesuatu yang berlawanan dengan keadilan untuk menerima agama. Sampai dalam peperangan tidak diperkenankan memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam, karena sesungguhnya agama adalah persoalan individual yaitu :antara individu dan Tuhannya, kalau dia menerima ajaran agama Islam berarti dia telah mendapat petunjuk dan begitu sebaliknya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Hasan Assyaibani:” kalau seandainya kaum muslimin berjumpa dengan kaum musyrikin dan mereka belum menyampaikan Islam kepada mereka, tidaklah mereka untuk memeranginya, sampai mereka menyerukannya kedalam Islam”. Begitu pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirm ”Dan kami tidak akan menga’azab sebelum kami mengutus seorang Rasul”( Al-Isra:1). Seandainya mereka mengetauhi sesungguhnya kita menyerukan kepada mereka untuk menerima ajaran Islam yang penuh dengan perdamaian sungguh mereka akan menerima ajaran ini tanpa harus adanya peperangan.
Begitu pula apa yang dikatakan Allamah Abul Qasim al-Samnaani al- Hanafi :” Dan hendaknya diserukan kepada mereka untuk masuk kedalam agama Islam dan diterangkan kemana mereka diserukan, serta terangkan syariat-syariat, dan kewajiban-kewajiban, dan hukum-hukumnya, apabila mereka masuk agama Islam maka jagalah dia dan juga hendakya dia untuk bergabung dalam negara Islam, dan apabila dia enggan untuk menerima ajaran ini maka hendaknya dia dianjurkan untuk membayar jizyah, dan apabila dia melaksanakannya maka peliharalah dia, dan apabila dia enggan membayar jizyah maka mohon tolonglah kepada Allah dan perangilah mereka atas nama Allah dan juga atas nama Agama Rasulnya”
.Agama dialog
Islam adalah agama yang menganjurkan harmonisasi dan kerukunan, serta membenci kekerasan dan kemunafikan. Tak ada jaminan yang lebih jelas untuk menghindari dua hal buruk ini kecuali ajakan Alquran kepada kita semua untuk menghormati keyakinan-keyakinan agama lain, anjuran mencari titik temu. Dalam Islam dialog bukan hanya merupakan sebuah kemuliaan namun ia merupakan suatu kewajiban. Maka, Allah menjadikan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dan berbagai macam bahasa serta warna kulit sebagai tanda kekuasaanNya. Juga menjadikan perbedaan dalam cara hidup, kebudayaan, peradaban, adat istiadat, dan juga agama. Allah berfirman: “ untuk tiap-tiap ummat diantara kamu kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikannya satu ummat saja”( al-Maidah:48). Saling kenal-mengenal adalah tujuan dari sebuah kemajmukan, dan dialog merupakan jalan untuk saling mengenal antara manusia, maka dialog merupakan suatu kewajiban Islam, hal ini telah tertuang dalam al-Qur’an.
Islam dan orang-orang yang beriman mengakui keberadaan agama Yahudi, dan juga Nasrani sebagai agama samawi, atau sebagai ajaran dan syariat Allah yang satu. Mempercayai semua Nabi, Rasul, dan kitab mereka sebagai sebuah wahyu yang diturunkan kepada Nabi mereka, serta mengakui syariat mereka sebelum mengalami perubahan bagian dari syariat Islam. Namun bagaimanakah sikap nonMuslim terhadap Islam? mereka mengingkari keberadaan Islam, serta tidak mengakui dan tidak menerima Islam sebagai sebuah ajaran, dan tidak menganggap Islam sebagai agama samawi, bahkan tidak menganggap Muhammad sebagai pembawa kebenaran, serta menuduhnya sebagai pembawa ajaran sesat, dan tidak menganggap Al-Qur’an sebagai wahyu samawi ( Muhammad Imarah, fi fiqhi al-muwajahah baina al-garb wa al-Islam :156)
Dalam hal ini, harapan penjaga nilai-nilai toleransi ada di pundak kita sebagai ummat Islam dan aparatur negara sebagai pengontrol berjalannya mekanisme hukum atau rule of law. Aparat negara harus ingat bahwa dalam konstitusi kita, setiap warganegara punya hak kebebasan dalam beragama, dan negara menjamin kebebasan setiap warganya untuk memeluk agama masing-masing. Karena itu, tugas mengawal proses-proses toleransi yang pertama-tama adalah ditangan kita dan negara. Law enforcement yang melindungi setiap warganegara untuk menjalankan kebebasannya dalam beragama, tetap ada di pundak aparatur negara. Tapi faktanya, ketika warganegara tidak diberi jaminan perlindungan oleh aparat negara, secara naluriah masyarakat akan mencari safety need, keinginan untuk aman masing-masing, dalam bentuk-bentuk lain bisa datang dari premanisme.
Jadi, kehendak untuk mencari safety need itu harus dibayar mahal sekali, akibat tidak adanya perlindungan negara atas hak-hak individu sebagai warganegara. Saya kira, argumen tekstual dari Islam sudah sangat jelas. Kitab suci Alquran telah menyatakan larangan mengganggu rumah ibadah-rumah ibadah agama lain, di mana asma-asma Tuhan disebut. Bahkan dalam Alquran, Allah secara jelas menyatakan: “Kalau Aku ingin menjadikan kalian satu umat saja, Aku tentu bisa. Tapi kalian memang Aku biarkan beragam agar saling berkompetisi secara sehat.” Jadi kita berbeda dalam rangka fastabiqul khairโt, berlomba-lomba dalam kebajikan.
Terkait soal di atas, ada contoh menarik ketika Umar membebaskan Palestina. Ketika itu, beberapa sahabat ingin sekali menyelenggarakan salat di sebuah gereja. Tapi Umar mengatakan: “Jangan! Kalau orang Islam diizinkan salat di sana, lambat laun mereka akan mengambil-alih gereja tersebut.” Itulah bentuk perlindungan Islam terhadap minoritas. Saya kira, hikmah yang dapat dijumpai dalam berbagai khazanah Islam itu harus disegarkan dan ditumbuhkan kembali.
Berkaca dari kisah di atas, dengan alasan apapun, setiap kelompok keagamaan tidak boleh menghancurkan rumah ibadah-rumah ibadah kelompok lain. Tapi di sisi lain, setiap kelompok keagamaan juga harus memiliki kepantasan etis dalam bermasyarakat. Setiap orang atau kelompok harus memiliki rasa tahu diri. Untuk sesuatu yang sifatnya etis, memang diperlukan kerukunan, titik temu, dan dialog antar tokoh-tokoh agama.
Namun, kekerasan atas nama agama yang beberapa tahun terakhir merebak di negeri ini, sejatinya tetap saja tidak dapat dibenarkan dengan dalih apapun. Agama, dan Islam khususnya, pada hakikatnya harus tetap ditegakkan sebagai rahmat bagi semesta alam, bukan laknat bagi kehidupan. Tantangan kita saat ini dan ke depan: mampukah kita mewujudkan peradaban dunia atas landasan rahmah dan perdamaian?
Ada bagian yang saling mengikat antara seluruh umat Islam. Baik dalam sejarah, kemaslahatan dan masa depan mereka. Juga masalah aqidah dan agama mereka. Keterkaitan ini lebih mengikat ketimbang keterikatan negara. Jika ada sebagian orang yang mengatakan bahwa persatuan undang-undang dalam suatu negara merupakan persatuan yang paling tinggi. Maka di atasnya adalah kesatuan aqidah. Dan Umat Islam jelas memiliki kesatuan undang-undang karena syariat Islam adalah satu, aqidahnya satu dan ajarannya universal untuk ummat semesta alam. Wallahu ‘alam Bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar