PENDAHULUAN
B |
anyak kita dengar dalam seminar-seminar ataupun diskusi-diskusi yang dilaksanakan berbagai macam golongan masyarakat, yang membicarakan relasi antara muslim dan nonmuslim, atau antara Barat dan Timur. Banyak para orientalis Barat mengatakan bahwa Islam tersebar di muka bumi ini dengan kekerasan atau menggunakan pedang.” Hal ini seakan-akan menggambarkan bahwa Islam adalah agama yang kejam, bengis, agama teroris serta penuh dengan paksaan dan kekerasan.
Apalagi pasca runtuhnya gedung kembar (WTC) di Amerika, banyak serangan bom yang akhirnya ditujukan kepada umat Islam. Hal ini menggiring opini masyarakat atau umat tentang arti Islam yang sebenarnya sebagai agama perdamaian, penuh toleransi antara yang satu dengan yang lainnya, agama yang paling sempurna, yang tersebar dengan jalan dakwah melalui perantara Rasulullah Saw., sebagai penyampai ajaran agama ini.
Namun, para orientalis dengan berbagai cara mendistorsi semua itu dengan bersandar pada bukti sejarah yang ada, baik dari sejarah peperangan Rasulullah Saw., dan para sahabatnya dengan orang-orang kafir, orang Yahudi dan juga para penduduk Makkah ketika itu. Serta banyak media Barat yang berusaha menyiarkan bentrok fisik yang terjadi di negara yang mayoritas berpenduduk muslim, seperti Palestina, Sudan, Irak, Afganistan, dan Indonesia. Bahkan seorang orientalis Barat Bernard Lewis berpendapat tentang isu terror terhadap Islam “Most Muslim are not Fundamentalists, and most fundamentalists not terrorist, but most present day terrorists are Muslim and proudly identify themselves as such”.[1] Mereka berargumentasi dengan dalil-dalil, baik al-Qur’an ataupun al-Hadits secara literatur, bahkan mereka membaca sebagian ayat dan meninggalkan sebagian yang lain sehingga timbulnya misunderstanding.
Pada kesempatan kali ini, penulis mencoba untuk mengkaji permasalahan yang telah berkembang perdebatannya di masyarakat kita sekarang ini. Banyak opini masyarakat mengenai hal ini, ada yang menjustifikasikan ataupun menolak. Oleh sebab itu penulis menitikberatkan pembahasannya pada beberapa poin:
1. Apakah dasar relasi antara muslim dan nonMuslim?.
2. Mengkaji ulang dalil-dalil jihad.
3. Benarkah Islam tersebar dengan kekerasan?.
KILAS BALIK RELASI ANTARA MUSLIM DAN NON MUSLIM
A. Relasi Muslim dengan Penduduk Makkah
Penduduk Makkah pada khususnya para pemimpinnya masih terkait tali keturunan dengan Nabi Muhammad Saw., dan juga berasal dari suku yang sama. Permusuhan di antara mereka di mulai sejak diutusnya Nabi Muhammad Saw. menjadi seorang Rasulullah yang merupakan penyempurna dari ajaran-ajaran sebelumnya. Maka dengan datangnya ajaran baru ini, penduduk Makkah merasa terganggu dan terusik kedudukan, serta ideologi yang telah lama mereka anut. Sehingga akhirnya bermunculanlah berbagai reaksi kekecewaan yang diapresiasikan dengan penghinaan dan juga pengusiran kepada pengikut ajaran Rasulullah Saw.
Maka hijrahlah Nabi Muhammad Saw. bersama pengikutnya ke Madinah. Setelah dua tahun hijrah, penduduk Makkah ingin memerangi kaum Muslimin di suatu peperangan yang terkenal dengan (perang Badar).[2] Pada peperangan ini kaum Muslimin mengalami kemenangan, namun pada tahun berikutnya penduduk Makkah ingin membalas dendam atas kekalahan mereka saat itu, sehingga terjadilah perang Uhud.[3] Pada peperangan kali ini kaum Muslimin mengalami kekalahan.
Pada tahun ke 6 dari Hijrah, Rasulullah Saw. beserta 1400 pengikutnya ingin menunaikan ibadah Umrah. Tetapi, ketika mereka sampai pada suatu tempat yang bernama Hudaibiyyah ada larangan dari penduduk Makkah untuk masuk Makkah. Maka setelah berdialog lama terjadilah perjanjian antara dua belah pihak yang terkenal dengan perjanjian (Hudaibiyyah),[4] yang isinya:
1. Mereka sepakat untuk tidak menyerang satu sama lainnya selama kurun waktu 10 tahun,
2. Menjaga perdamaian dan menahan diri untuk tidak berperang antara satu sama lainnya,
3. Rasulullah Saw. dan pengikutnya harus melakukan Umrah pada tahun berikutnya dan tidak diperbolehkan tahun ini.
Pada dasarnya perjanjian ini banyak merugikan kaum Muslimin. Tetapi, kaum Muslimin menerima perjanjian itu. Namun, setelah dua tahun perjanjian itu berlalu, Banu Bakr yang notabene beraliansi dengan penduduk Makkah, menyerang Bani Khuza’ah yang notabene beraliansi dengan kaum Muslimin. Maka, Bani Khuza’ah melaporkan kejadian ini kepada Rasulullah Saw. Akhirnya pergilah beliau ke kota Makkah untuk meminta kepada penduduk tersebut beberapa tuntutan, di antaranya:
- Memutuskan relasi dengan Bani Bakr,
- Mengganti rugi korban Bani Khuza’ah, dan
- Mengakhiri perjanjian Hudaibiyyah.
Namun, penduduk Makkah memilih untuk mengakhiri perjanjian Hudaibiyah ini. Dan banyak hal lagi yang terjadi selama berhubungan dengan penduduk Makkah yang penulis tidak bisa menyebutkannya pada makalah ini secara mendetail.
B. Relasi Muslim dengan Yahudi
Rasulullah Saw. tinggal di Makkah selama kurang lebih 13 tahun setelah kenabiannya. Berbagai macam gangguan dan hinaan serta siksaan dari penduduk Makkah dialaminya. Pada saat itu mayoritas pemeluk Yahudi tinggal di Madinah dan Khaibar. Saat itu mereka belum cemas dengan keberadaan Islam. Tetapi setelah kaum Muslimin berhijrah, relasi baik pun terjadi antara kaum Yahudi. Ada tiga golongan Yahudi yang terkenal saat itu, yaitu: Banu Qoinuqo’, Banu Nadir, dan Banu Qurayzah. Namun, disamping mereka pun ada dua suku Arab yaitu: Aws dan Khazraj,[5] mereka hidup berdampingan dan saling tolong menolong antara satu dengan yang lainnya.
Ketika, Rasulullah Saw. tinggal di Madinah, beliau mengadakan sebuah perjanjian bersama kaum Yahudi yang terkenal dengan Piagam Madinah, yaitu: bahwa kedua belah pihak bekerjasama untuk melawan serangan dari luar, dan mereka bebas untuk melakukan kegiatan keagamaannya masing-masing.
Beberapa tahun kemudian, timbullah iri hati dari orang-orang Yahudi terhadap kaum Muslimin, dengan mengadakan permusuhan dan menyakiti kaum Muslimin. Peristiwa ini diawali oleh Yahudi Banu Qoinuqo’ yang memiliki toko di Madinah dengan melakukan pemaksaan terhadap seorang Muslimah untuk membuka jilbab ketika ia datang untuk menjual sesuatu kepada Yahudi tersebut. Muslimah tersebut menolaknya, tetapi dia memaksanya hingga akhirnya sampailah pada maksudnya tersebut. Peristiwa ini membuat marah kaum Muslimin, lalu menyuruh Banu Qoinuqo’ untuk meninggalkan kota Madinah.
Peristiwa selanjutnya adalah Banu Nadir[6] yang hendak membunuh Rasulullah Saw., yaitu ketika beliau berada di luar Madinah. Mereka melempari Rasulullah Saw. dengan sebongkah batu. Namun dengan pertolongan Allah Swt. selamatlah beliau. Hingga akhirnya kaum muslimin memaksa mereka untuk keluar dari kota Madinah ke Khybar dan Syria. Begitu juga Yahudi Banu Qurayzah yang menghianati Rasulullah Saw.
C. Relasi kaum Muslim dengan Kristen.
Pada awalnya Kerajaan Bizantium yang saat itu menguasai Syiria dan Palestina tidak memusuhi Rasulullah Saw. Bahkan ketika Rasulullah Saw. mengutus seorang utusan untuk menyampaikan ajaran Islam ia menerima dengan baik, bahkan memberikan sebuah hadiah kepada beliau. Pada saat itu tidak ada kaum Kristiani yang berhubungan langsung dengan kaum Muslimin di Madinah.
Penduduk Kristen yang terdekat dari Madinah adalah di Syiria. Mereka hidup di bawah kekuasaan Ghasasana yang beribu kota di Basra (Iraq sekarang) yang di kemudian hari menjadi kerajaan Bizantium, dan Konstantinopel sebagai Ibukotanya.[7]
Banyak orang Kristen yang tinggal di Syria dan semenanjung Arabia mulai mendatangi Rasulullah Saw., lalu masuk Islam. Namun, setelah beberapa lama berhubungan terjadilah beberapa kejadian yang merugikan kaum Muslimin, di antaranya: perampokan dan perampasan terhadap orang-orang yang datang ke kota Madinah yang dilakukan beberapa kelompok dari mereka yang berkumpul di Duma al-Jandal, lalu Rasulullah Saw. mengirimkan 1000 pasukan untuk meredam aksi mereka.
Kejadian yang paling buruk adalah ketika Suku Juzam dari kaum Nasrani menahan utusan Rasulullah Saw., Dahia al-Kalbi yang diutus kepada penguasa Bizantium. Utusan tersebut ditelanjangi dan dipermalukan. Rasulullah Saw. yang mendengar hal tersebut menjadi sangat marah, karena telah melanggar kemerdekaan seorang utusan. Akhirnya, Rasulullah Saw. mengutus Zaid bin Tsabit dengan 500 bala tentara untuk melawan mereka.
Selain itu Rasulullah Saw. pernah mengirim seorang utusan dibawah pimpinan Abdullah ibn Huzafah al-Sahami, dan mengajak Kisra Parviz untuk memeluk Islam Parviz dengan angkuh mengoyak-ngoyak surat tersebut, bahkan memerintahkan kepada gubernur wilayah Yaman yang saat itu berada dibawah jajahan Persia untuk menangkap raja ‘Badui’ di Madinah dan membawanya ke Madain ibukota Persia. Mendengar berita itu Rasulullah Saw. bersabda, “Kerajaannya tak lama lagi akan dikoyak-koyak dan kamu akan mewarisinya!.” Setelah peristiwa itu Rasulullah Saw. tidak pernah berhubungan dengan Persia lagi.[8]
Masih banyak kejadian-kejadian yang terjadi antara Muslim dan nonMuslim pada saat itu yang tidak dapat penulis sampaikan semuanya pada makalah ini.
Begitu pula masuknya Islam di Zaere di pertengahan abad sembilan belas atau tahun 1840 M yang memperkenalkan oleh para pedagang Muslim asal Mesir, Yaman, dan Amman kepada mereka. Perilaku baik para pedagang itu memunculkan simpati dari suku pribumi di Afrika, sehingga mereka beralih memeluk agama Islam. Andai penyebaran Islam tidak mendapat hambatan, niscaya Islam menjadi agama mayoritas di seluruh Zaere. Namun, kedatangan kolonial Jerman dan Belgia menghambat jalan dakwah tersebut dengan kekuatan militer. Begitu pula nasib Muslim di Rwanda dan Burundi yang merasakan hal yang tidak jauh berbeda.[9]
Bila kita pelajari dan kaji ulang secara baik dari al-Qur’an dan al-Hadist, atau dari buku-buku sejarah mengenai prilaku dan juga perangai Rasulullah Saw. dan para sahabatnya dalam berinteraksi dengan komunitas selain Muslim, dan berbagai macam suku saat itu, maka akan banyak didapatkan perbedaan opini tentangnya.
Ada yang berpendapat bahwa relasi pada saat itu awalnya adalah sebuah hubungan yang penuh dengan perdamaian, kerukunan dan bukan permusuhan, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa relasi tersebut adalah permusuhan, atau dapat dikatakan mereka beranggapan bahwa tujuan dari peperangan dalam Islam adalah pengusiran orang nonMuslim dan penaklukan mereka. Bahkan ada yang berpendapat bahwasanya dunia ini terbagi menjadi dua bagian: yang pertama adalah (Daar al-Islam) dan yang kedua adalah (Daar al-kuffar).
Oleh sebab itu penulis mencoba untuk untuk menyatukan antara tiga pendapat ini dan menjadikannya sebagai suatu yang dapat diterima oleh kita semua.
Beberapa Ulama berpendapat bahwa relasi antara Muslim dan juga non muslim adalah permusuhan dan bukan perdamaian, di mana Ulama ini menginterpretasi teks al-Qur’an secara literatur. Kemudian ada yang menyatakan bahwa relasi antara Muslim dan nonMuslim adalah suatu perubahan dari perdamaian kepada permusuhan, mereka berargumentasi bahwa evolusi ini memuncak ketika ada perintah untuk memerangi orang-orang yang tidak beriman, yang mana diterangkan dalam al-Qur’an surat at-Taubah: “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berikanlah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. at-Taubah: 5).
Pada awal lahirnya Islam terdapat beberapa keadaan yang membenarkan bahwa relasi antara Muslim dan nonMuslim adalah sebuah permusuhan serta situasi politik yang tidak stabil, sehingga dunia ini terpecah menjadi dua bagian: daerah kekuasaan Islam (Daar al-Islam) dan daerah kekuasaan nonMuslim (Daar al-Harb), yang mana Ulama-Ulama ini berpendapat bahwa ayat-ayat yang memerintah perang telah menghapus ayat-ayat yang memerintah perdamaian. Namun pendapat ini dibantah oleh Ulama-Ulama ahlul-ra’y. Mereka berpendapat bahwa relasi antara Muslim dan nonMuslim adalah sebuah perdamaian. Mereka berargumentasi bahwa perintah untuk perang adalah tidak mutlak tetapi disesuaikan dengan keadaan, yaitu ketika ada serangan dari orang-orang nonMuslim, maka perintah ini dibenarkan untuk melakukan peperangan kepada nonMuslim guna mempertahankan diri dari serangan mereka.
Namun pendapat ini pun dibantah oleh pendapat yang menyatakan bahwa tujuan dari jihad adalah untuk memaksa orang-orang yang tidak beriman serta menghancurkan mereka sampai seluruh dunia ini beriman. [10]
MENGKAJI AYAT-AYAT PERANG
Ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang peperangan banyak diartikan sebagai penyerangan. Hal ini merupakan kesalahan dalam memahami dan mentafsirkan ayat-ayat tersebut.
Berikut ini penulis mencoba untuk menguraikan tafsiran ayat–ayat yang berkaitan dengan peperangan, sehingga tidak menjadikan hakikat peperangan sebagai penyerangan, tetapi didasari oleh rasa ingin mempertahankan diri dari serangan nonMuslim.
Ayat-ayat al-Qur’an yang dibaca terpisah antara ayat-ayat jihad dan ayat-ayat perdamaian akan menimbulkan misinterpretation. Surat at-Taubah dari ayat 1-15 menerangkan tentang penduduk Makkah yang melanggar perjanjian Hudaibiyah. Ayat-ayat ini diturunkan di Madinah manakala penduduk Makkah melanggar perjanjian dengan orang- orang Muslim, yaitu ketika suku Bani Bakr yang notabene beraliansi dengan Penduduk Makkah menyerang Banu Khuzaah yang notabene beraliansi dengan kaum Muslimin.[11]
Demikianlah, penduduk Makkah merusak perjanjian yang telah mereka sepakati bersama kaum Muslimin, dengan kata lain pelanggaran perjanjian telah menyebabkan relasi persahabatan berubah menjadi permusuhan. Peristiwa ini diperkuat dengan al-Qur’an surat at-Taubah ayat 7-8 yang mengatakan:
“Bagaimana bisa ada perjanjian aman dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin, kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian dengan mereka di dekat masjidil Haram, maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus pula terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.”
Dan ayat berikutnya mengatakan:
“Bagaimana bisa ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan Orang-orang musyrikin, padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara relasi kekerabatan terhadap kamu dan tidak pula mengindahkan perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedangkan hatinya menolak. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang Fasik.”
Dan ayat ini menggarisbawahi, bahwa peperangan sesungguhnya hanyalah terhadap orang-orang yang melanggar janji dan juga yang menghalangi kaum Muslimin untuk melakukan dakwah.
Diterangkan pula dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat: 193 yang mengatakan:
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan sehingga agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti dari memusuhi kamu, maka tidak ada permusuhan lagi kecuali terhadap orang-orang yang dzalim.”
Ayat ini menerangkan bahwa kita harus berperang sampai seluruh dunia ini memeluk agama Islam. Namun ayat ini bertolakbelakang dengan akhir dari ayat ini yang mengatakan:
“Apabila mereka berhenti dari memusuhi kamu maka tidak ada permusuhan lagi kecuali terhadap orang-orang yang dzalim”, yaitu orang-orang yang menganiaya orang-orang Muslim. Sedangkan orang-orang musyrik tidak bisa diberhentikan dari perbuatan mereka, karena agama adalah hubungan antara individu dan Tuhannya dan tidak seorangpun yang bisa mencampuri urusan ini. Oleh sebab itu, maksud ayat itu adalah perang akan berakhir jika mereka berhenti dari konspirasi mereka, yaitu berhenti dari menyakiti kaum Muslimin, menghina dan juga memberikan kepada mereka kebebasan untuk menyiarkan agamanya.
Bahkan banyak ayat-ayat yang lain yang menerangkan bahwa jihad adalah menyampaikan kabar gembira tentang datangnya ajaran baru yaitu Islam, dan juga menjaga dan menyiarkan serta mempertahankannya, baik dengan berperang maupun dengan perdamaian. Lihat al-Qur’an surat al-Baqarah: 195, 218, Ali-Imran: 99, 195. Dan banyak lagi ayat yang menerangkan bahwa Jihad sebenarnya adalah berperang di jalan Allah, lihat al-Qur’an surat an-Nisa: 94 dan at-Taubah: 86.[12]
TABIAT DAKWAH ISLAM DAN OPINI ULAMA TERHADAP TUJUAN PEPERANGAN DALAM ISLAM
Untuk memperjelas pembicaraan terhadap permasalahan ini, sepatutnya kita mengetahui dan memahami tabiat dakwah Islam dan teks-teks yang berhubungan dengan hal ini. Ajaran Islam yang diturunkan Allah Swt. melalui perantara Nabi Muhammad Saw. pada hakikatnya merupakan ajaran yang menyempurnakan ajaran-ajaran sebelumnya, dan Allah Swt. menghendakinya sebagai ajaran yang universal untuk semua manusia serta tidak mengkhususkan pada suatu kaum ataupun suatu golongan tertentu.
Allah Swt. telah meridhai Islam menjadi agama dan merupakan sebuah ajaran yang sempurna bagi manusia. Sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam al-Qur’an:
“Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi Agama bagimu.” (QS. al-Maidah: 3).
Nabi Muhammad Saw. diutus ke muka bumi ini untuk semua manusia, sebagaimana firman Allah Swt.:
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Saba’: 28)
dan ayat selanjutnya mengatakan:
“Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS. al-Anbiya: 107).
Berbeda halnya dengan Nabi-Nabi sebelumnya yang diutus oleh Allah Swt. hanya untuk kaum dan golongannya tertentu. Hal ini menunjukan bahwa Islam merupakan suatu ajaran yang universal bagi seluruh alam.
Sebagaimana perjalanan dakwah Rasulullah Saw. yang menyerukan dakwah secara menyeluruh tanpa harus melihat golongan ataupun jabatan, warna kulit, atau melihat kepada strata kehidupan seseorang baik kaya ataupun miskin. Walau pun pada awalnya dakwah ini dilakukan secara tersembunyi, kemudian secara terang-terangan, dan akhirnya setelah beliau dan para pengikutnya hijrah ke Madinah barulah beliau memulai dakwahnya dengan mengirimkan surat-surat kepada para pemimpin dan raja- raja pada saat itu.
Beliau menulis surat untuk Hiraklius pemimpin Roma, Kisra pembesar Paris, dan juga kepada Najasyi pembesar Najashi, kepada Mukaukis penguasa Mesir dan juga Iskandariyah pada saat itu dan banyak lagi yang dikirimkan kepada raja- raja pada masa itu.
Fakta sejarah menjadi bukti bahwa Islam adalah agama yang disampaikan untuk semua manusia di muka bumi ini dari sejak diperintahkannya sampai sekarang. Dan dari ini semua mungkin kita bisa menjustifikasi bahwa sesungguhnya relasi antara Muslim dan ummat-ummat lain di muka bumi meskipun berbeda agama dan golongan bukanlah perdamaian secara mutlak dan bukan pula permusuhan secara mutlak, namun sesuai dengan keadaan dan situasi. Islam adalah agama dakwah yang menyeluruh dan tidak mengenal batas geografi, politik, adat, golongan ataupun bahasa, bahkan Islam adalah agama yang penuh rahmat bagi semua penghuni bumi ini.
Maka hubungan yang sesungguhnya antara permusuhan dan perdamaian akan lebih jelas setelah mengetahui sikap umat dan juga negara pada saat itu tentang agama Islam, antara menerima atau menolak ajaran agama ini. Oleh sebab itu Dr. al-Ganiimii mengatakan[13]: “Sesungguhnya relasi Negara Islam dengan negara lain yang berseberangan dengannya tergantung bagaimana siyasat negara-negara Islam tersebut, dan itu adalah sesuatu yang wajar dalam perpolitikan antara negara, dan apabila dia berjalan sesuai dengan jalan yang diwariskan dan juga yang diterima, sebagai mana diterangkan dalam al-Qur’an: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu, karena agama dan tidak juga mengusir kamu dari negrimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang–orang yang berlaku adil” (QS. al-Mumtahanah: 8) dan pada saat itu kaum muslimin tidak dituntut untuk memaksa mereka untuk memeluk agama Islam, karena sesungguhnya paksaan adalah berlawanan dengan keadilan.”
Bahkan kita selalu mengatakan bahwa pemaksaan adalah sesuatu yang berlawanan dengan keadilan untuk menerima agama. Sampai dalam peperangan pun tidak diperkenankan memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam, karena sesungguhnya agama adalah persoalan individual antara hamba dan Tuhannya. Kalau dia menerima ajaran agama Islam berarti dia telah mendapat petunjuk dan begitu sebaliknya. Apabila negara yang menolak ajaran ini dan memusuhi serta memerangi, maka untuk mereka adalah sebagaimana diterangkan oleh Allah Swt.:
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagian kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negrimu dan membantu orang lain untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS. al-Mumtahanah: 9).
Sebagaimana Muhammad Hasan asy-Syaibani berpendapat[14]: “Kalau seandainya kaum muslimin berjumpa dengan kaum musyrikin dan mereka belum menyampaikan Islam kepada mereka, tidaklah mereka untuk memeranginya sampai mereka menyerukannya ke dalam Islam”. Begitu pula Allah Swt. berfirman:
“Dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang Rasul.” (QS. al-Isra: 1).
Rasulullah Saw. berwasiat kepada pemimpin bala tentara:
“Serukanlah kepada mereka untuk mengatakan bahwa tiada Tuhan selain Allah.” Mungkin mereka mengira bahwa kita memerangi mereka karena rakus akan harta mereka, dan juga merampas wanita-wanita mereka serta keturunan mereka, seandainya mereka mengetahui, sesungguhnya kita menyerukan kepada mereka untuk menerima ajaran Islam, sungguh mereka akan menerima ajaran ini tanpa harus adanya peperangan. Dan untuk memulai ajaran agama Islam ini di mulai dengan hikmah dan juga dengan nasehat yang baik.”[15]
Sebagaimana dikatakan oleh Allamah Abul Qasim al-Samnaani al-Hanafi[16]:
“Dan setiap apa yang belum kamu sampaikan tentang ajaran Islam, maka hendaknya diserukan untuk masuk ke dalam agama Islam dan diterangkan hendak ke mana mereka diserukan, serta terangkan syariat-syariat, dan kewajiban-kewajiban, serta hukum-hukumnya, apabila dia masuk agama Islam, maka jagalah dia dan juga hendaknya dia untuk bergabung dalam negara Islam. Dan apabila dia enggan untuk menerima ajaran ini, maka hendaknya dia dianjurkan untuk membayar jizyah, dan apabila dia melaksanakannya maka peliharalah dia, dan apabila dia enggan membayar jizyah maka mohon tolonglah kepada Allah dan perangilah mereka atas nama Allah dan juga atas nama Agama Rasulnya.”
Namun, relasi ini akan menjadi permusuhan kalau seandainya mereka enggan untuk membayar jizyah sebagaimana orang-orang yang murtad dan juga orang-orang yang menyembah berhala dari orang-orang Arab. Maka, bagi mereka antara dua pilihan Islam atau perang. Apabila mereka menolak ajaran agama Islam maka perangilah mereka. Barang siapa yang ditawari untuk membayar jizyah karena menolak untuk memeluk ajaran agama Islam, namun mereka menolaknya atau enggan untuk membayarnya, maka relasi antara mereka adalah permusuhan. Sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Hasan As-Syaibani[17]:
“Dan hendaklah kita tidak memerangi mereka sampai kita memerintahkan mereka untuk membayar jizyah, dan itu adalah perintah terakhir sebelum kita wajib memerangi mereka.”
Sedangkan menurut pendapat ulama yang lain[18]: Bahwa relasi antara Muslim dan nonMuslim adalah sebuah permusuhan, dan perdamaian merupakan suatu persiapan untuk peperangan, dan tidaklah sepatutnya untuk melakukan perjanjian dengan orang-orang Musyrikin seandainya kaum Muslimin memiliki kekuatan atas mereka, karena itu adalah suatu perbuatan yang meninggalkan peperangan yang diperintahkan.
Dan apabila kaum Muslimin tidak memiliki kekuatan untuk melakukan peperangan, maka diperbolehkan untuk melakukan perjanjian kepada mereka, karena itu adalah hal yang terbaik bagi kaum Muslimin, dan saat itu diartikan sebagai suatu jihad yang berarti untuk mencegah kejahatan, karena perdamaian yang mutlak tidak akan terjadi kecuali dengan masuknya ke dalam agama Islam atau rela untuk menjadi ahli dzimmah.
As-Syaukani berpedapat: “Sesungguhnya memerangi orang-orang kafir dan membawanya untuk masuk Islam serta untuk membayar jizyah merupakan sesuatu wajar dalam agama, maka untuk itu diutuslah Rasulullah Saw., dan perang merupakan sesuatu yang wajib disertai dengan kemampuan kaum Muslimin untuk berperang serta keadaan yang memungkinkan dan juga dengan tujuan yang jelas.[19]
PENUTUP
Dari ulasan di atas, penulis ingin mengambil sebuah kesimpulan, bahwa relasi antara Muslim dan nonMuslim pada awalnya merupakan suatu perdamaian, namun disebabkan berbagai macam penolakan oleh nonMuslim kepada dakwah yang dibawa oleh kaum Muslimin sebagai agama yang universal, maka berakibat berubahlah perdamaian ini menjadi permusuhan, yang mana perdamaian dan permusuhan ini tidak mutlak sifatnya, karena ia akan menjadi sebuah perdamaian kalau seandainya nonMuslim mentaati peraturan dan juga perjanjian antara mereka, dan akan menjadi sebuah permusuhan apabila mereka memusuhi kaum muslimin dalam menyebarkan ajaran agama ini, dan apabila mereka melanggar perjanjian antar mereka.
Namun pendapat yang mengatakan bahwa Islam tersebar dengan pedang, menurut hemat penulis itu dapat dibenarkan dalam konteks “tahap akhir”, karena dakwah pada hakikatnya ada dua macam;
- Dakwah dengan cara kekuatan yaitu dengan perang,
- Dakwah dengan cara lisan.
Yang kedua adalah dakwah lebih mudah, karena peperangan menyebabkan berbagai macam kerugian moril ataupun materil, sedang dakwah dengan lisan tidak seperti itu. Namun, kalau dakwah pertama ini tidak diterima dan melarang dakwah ini serta enggan untuk membayar jizyah sebagai jaminan dan juga biaya untuk menjaga keselamatan mereka dari serangan musuh, maka dakwah terakhirlah yang digunakan yaitu dengan perang.
Apabila kita lihat dari sisi sejarah peperangan Rasulullah Saw. dan sahabatnya adalah dalam rangka mempertahankan agama Islam dari serangan musuh. Karena kewajiban kaum muslimin terhadap agamanya adalah untuk mempertahankannya baik dari dalam dan juga dari luar.
Adapun dari dalam yaitu: melaksanakan perintah-perintah-Nya seperti: shalat, zakat, puasa, haji dan lain sebagainya. Namun yang dari luar yaitu dengan mempertahankannya dari serangan musuh yang hendak menghancuran ajaran agama ini. Dan peperangan ini hanya bermaksud untuk menjatuhkan para pembangkang yang tidak mengakui bahwa kekuasaan hanyalah ditangan Allah Swt. semata.
Menyikapi tuduhan yang diarahkan kepada kaum Muslimin yang melakukan serangan bom bunuh diri atau pun pengeboman ke gedung-gedung tertentu dengan maksud jihad, menurut hemat penulis seandainya maksudnya adalah mempertahankan agama dari ancaman dan juga serangan musuh, maka diperbolehkan untuk menyerang. Namun, cara mereka adalah salah karena maksud peperangan di sini adalah kepada mereka yang dzalim yang memerangi kaum Muslimin, sehingga mereka mau tunduk di bawah kekuasan Islam, sedang mereka menyerang gedung-gedung yang dihuni oleh orang-orang yang tidak mengetahui apa-apa. Karena dalam adab berperang tidak boleh membunuh orang yang tidak ikut memerangi kita.
Mungkin ini yang bisa penulis sajikan. Semoga makalah ini menjadi tambahan khazanah keilmuan kita, dan juga menjadi bahan renungan untuk selalu mempertahankan agama kita dari serangan nonMuslim, baik secara fisik ataupun secara pikiran. Karena pada saat sekarang perang pemikiran (gazwu al-fikr) lebih dominan dibandingkan dengan perang fisik itu sendiri, dan sedikit dari kita yang sadar tentang hal ini. Wallahu A’lam Bishawwab.
REFERENSI
- Al-Qur’an
§ As-Sail al- Jarror al-Mutadaffiq ala hadaiqi al- azhar, As-Syaukani, jld 4.
- As-Syarakhsi, Syarhu al-Siyar al-Kabir, jilid 1.
- Bernard Lewis, The Crisis of Islam Holy war or unholy Terror.
- Dr. Muhammad Thala’at al-Ganimi, Tahkik Qonuun al-Salam fi al-Islam.
§ DR. Mustofa As-Sibai’, Assiroh An-Nabawiyah duruusun wa I’bar, al-Maktab al-Islami.
- Dr. Shalahuddin al-Nahi, Rawdotu al-Qudot wa toriqu al-Najat, Lissamnaani, jilid 3.
- Majalah Ishlah edisi 74 thn 1997.
- Makalah Dr. Ustman Jum’ah Dhomiriyah, Aslu al-alaqat baina al- Muslimin wagairi al-Muslimin.
- Muhammad Hasan As-Syaibani, Kitab As-Siyar As-shagir.
§ Muhammad izzad Darwazah, al-jihad fisabiilillah fi al-Qur’an wa al-Hadist.
§ Islamabad Law Review, Vol 1, 2003.
- Shohih Muslim, jilid 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar