Senin, 18 Oktober 2010

Yang Legal Belum Tentu Bermoral

Perasaan bangga dan juga bahagia muncul ketika banyaknya kaum intelektual menduduki posisi penting dalam ruang-ruang kehidupan publik, baik perekonomian, kebudayaan, pendidikan, hukum, birokrasi, legislatif, partai poitik, ormas dan sebagainya., yang selama ini banyak diisi oleh orang-orang birokrat yang sudah lama nongkrong di posisi-posisi penting tersebut. Tentunya hal ini menjadi angin segar untuk sebuah penantian perubahan lingkungan yang sudah sama-sama kita rasakan. Karena kaum intelektual merupakan garda terdepan bagi penyelamatan moral bangsa. Tapi, apakah kita hanya bisa berbangga saja dengan banyaknya kaum intelektual menempati posisi-posisi strategi di negri ini. Tentunya berbangga tanpa ada praktek yang nyata percuma saja, atau dimensi moral hanya bisa diungkapkan dari luar sebagai ungkapan dari suatu kewibawaan tertentu. Tetapi, kewibawaan tersebut bukan merupakan suatu kekuatan yang efektif karena tidak memiliki organ atau jalur langsung untuk menentukan hukum.

Apakah intelektual menjamin suatu perubahan dan juga perbaikan?!. Memang semakin tinggi jumlah para intelek disuatu negara maka akan semakin tinggi pula pertumbuhan kebudayaan dan peradaban negara tersebut. Namun, tidak cukup dengan banyaknya intelektual tanpa diiringi dengan perbaikan sistem dan juga kultur negara tersebut. Selama ini para kaum intelek sering melemparkan kritikan kepada para birokrat dan juga pejabat, yang sering melakukan suatu pelanggaran dalam negri ini. Mungkin, hal ini dilakukan karena mereka belum pernah merasakan hal itu, atau belum pernah menjadi seorang birokrat atau pejabat Negara, yang duduk di posisi-posisi strategi bangsa ini yang kebijakannya adalah untuk kepentingan masyarakat banyak. Mungkin betul ungkapan yang menyatakan: Seorang penonton lebih pandai dari pemain" Contohnya saja ketika kita nonton pertandingan sepak bola, mungkin banyak dari penonton bola ini yang melemparkan kritikan2 pedas kepada pemain-pemain top sekelas Ronaldo. Tapi apakah dia bisa melakukan hal itu ketika dia dalam posisi seperti Ronaldo?.
Sekarang ini banyak para intelektual memasuki dunia birokrasi, namun apa yang kita saksikan, orang-orang yang kita banggakan menjadi sebuah tontonan dan juga bahan tertawaan orang banyak. Dimana letak moral, dimana rasa tanggung jawab, dimana pula slogan garda terdepan penjaga moral, ketika nurani sudah berupah menjadi dusta?, hal ini serupa apa yang diungkapkan Mustafa Bisri dalam bait sajaknya : "Banyak ulama sudah semakin dekat kepada pejabat, banyak pejabat sudah semakin erat dengan konglomerat, banyak wakil rakyat sudah semakin jauh dari umat, banyak nurani dan akal budi sudah semakin sekarat "
Dunia akademisi adalah dunia yang berbeda dengan dunia birokrasi, dimana dunia akademisi lebih memberikan ruang gerak yang bebas dan lebih cenderung kepada hal-hal yang membangun dan pembaharuan. Namun, ketika seorang akademisi, atau para intelektual pindah kedunia birokrasi, atau kaum intelektual yang pindah habitat ( meminjam istilah Amin Rais ), maka, dia bermain dengan sistem yang baku, dia patuh dan tunduk apa kata atasanya, atau mengikuti peraturan yang sudah dibangun dalam dunia birokrasi, dan juga tentunya dia menjadi pelayan masyarakat (public service). Oleh sebab itu, kaum intelektual juga harus memahami dunia dimana dia memijakkan kaki, sehingga tidak mudah dibodohi oleh sistem dan peraturan yang ada. Ada sebuah perkataan yang patut kita renungi bahwa: " Orang yang paling bodoh adalah orang asing" Kalaulah kita asing dalam dunia birokrasi dan kita tidak berusaha untuk mempelajarinya dan juga menguasainya maka dengan mudah kita akan terpedaya dengan birokrasi itu sendiri.
Memang, yang legal itu belum tentu moral, atau hal sudah ditetapkan menjadi aturan tidak mesti menjamin keadilan bagi orang banyak. Slogan ini biasanya dilemparkan oleh orang-orang yang menjadikan moral sebagai garda terdepan, tentunya para ahli hukum lebih percaya kepada fositivisme ( kepastian Hukum ) karena kalau tidak ada kepastian hukum tentunya tidak ada ukuran untuk menentukan suatu permasalahan. Sebagaimana Jeremy Bentham dalam bukunya " Introduction to the morals and legislation" Berpendapat bahwa hukum ditegakkan bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. Maka, dalam teori utilitis ini bertujuan menjamin adanya kebahagian sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya, pendapat Bentham ini hanya menitik beratkan kepada hal-hal yang berfaedah dan bersifat umum namun, mengenyampingkan asas keadilan. Apakah yang bermanfaat untuk masyarakat banyak pasti dan menjamin keadilan?!. Saya kira tidak mesti yang bermanfaat itu menjamin terciptanya keadilan. Hendaknya dua-duanya dijalankan secara bersamaan yaitu kepastian hukum, yang menjamin keadilan bagi masyarakat banyak. Sebagaimana surat Khalifah Umar bin khatab kepada Abu Musa al-As'ari ketika beliau mengemban jabatan sebagai seorang hakim, yang mana surat ini menjadi rujukan para hakim, serta telah diterjamahkan berbagai macam bahasa yang isinya sebagai berikut : " Sesungguhnya peradilan adalah sesuatu yang wajib, dan juga sebagai sunah yang diikuti, maka pahamilah kalau seandainya diserahkan kepadmu sebuah perkara, karena tidaklah bermanfaat berbicara tentang kebenaran namun tidak ada realisasinya, berlaku adillah kepada semua orang dalam setiap perkara yang kau hadapi, sehingga orang yang kuat tidak memanfaatkan kelemahanmu dan orang yang lemah tidak berputus asa untuk menerima keadilanmu".
Merujuk kepada suatu kasus di negri kita, yaitu kasus penyogokkan yang dilakukan oleh salah seorang anggota Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) dimana Mulyana W Kusuma, ketika tertangkap basah menyogok salah seorang anggota Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ), dan dalam keterangan persnya dia mengatakan, bahwa sebenarnya dia telah menyelamatkan uang negara, dari berbagai macam tender pengadaan kotak suara dan juga kertas pemilihan umum, maka dipilihnya harga yang paling murah, sehingga bisa menghemat kekayaan negara. Tapi bukankah setiap tender itu pasti ada persaingan, yang menawarkan berbagai macam iming-iming. Tentunya sudah menjadi rahasia umum, kalau seandainya kita memenangkan suatu tender perusahaan tertentu, akan mendapatkan imbalan dari perusahaan tersebut. Ini bisa dikatagorikan sebagai korupsi transaktif yaitu korupsi yang ditandai adanya kesepakatan timbal balik antara yang memberi dan menerima demi keuntungan bersama, dan kedua pihak sama-sama aktif menjalankan perbuatan tersebut. Atau juga bisa dikatagorikan sebagai korupsi Autogenetik, yaitu korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai kesempatan untuk mendapat keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu yang hanya diketahui seorang diri. Maka, kalau seandainya mereka jujur dan menggunakan hati nurani untuk tidak mengambil imbalan tersebut yang pada dasarnya bukan milik dan hak mereka, melainkan milik negara yang harus dijaga, bukan untuk memperkaya diri sendiri. Bukankah negara sudah membayar mereka untuk suatu tugas atau jabatan tertentu. Bukan pula Rasulullah Saw, telah memberikan contoh kepada kita, ketika beliau mengutus seorang sahabat untuk menagih zakat, kemudian ada salah seorang dari orang yang ditagih memberikan imbalan kepada sahabat ini, lalu sang sahabat melaporkannya kepada Rasullah Saw, Ketika mengetahui hal tersebut Rasulullah menyuruh kepada sahabat tersebut untuk memberikan imbalan tersebut kepada negara. Beliau beralasan seorang sahabat mendapatkan imbalan tersebut karena sedang mengemban amanat negara, bukan karena pribadi sahabat itu sendiri.
Mungkin dikarenakan sistem birokrasi kita yang lemah sehingga masih banyak celah yang bisa dilakukan oleh seseorang untuk melakukan pelanggaran, dan juga kultur bangsa kita yang telah menjadikan penerimaan bonus dan yang sejenisnya sebagai budaya. Begitu pula apa yang dilakukan oleh seorang Khairiyanshah, yang kononnya peniup peliut kasus korupsi di KPU, ketika dia menjadi tim auditor dana abadi ummat, dia mendapatkan imbalan dari pekerjaan itu, dan akhirnya menjerumuskan dia kepada tuduhan korupsi. Kalau kita kaji secara detail, mengapa Khairiyanshah menolak uang sogokkan yang diberikan Mulyana W Kusuma, padahal jumlah itu jauh lebih besar dari dana yang dia dapat dari dana abadi ummat. Hadiah atau korupsikah yang dilakukan oleh khairiyansyah?. Kalau merujuk kepada sunnah Rasulullah Saw, diatas tidak layaklah dia mengambil hal itu karena dia telah mendapatkan gaji dari negara, dan itu adalah hak negara yang harus dikembalikan, karena dia bekerja atas nama negara. Mungkin karena belum adanya aturan hukum yang jelas yang mengatur tentang batasan hal ini. Yaitu batasan yang membedakan antara korupsi dengan hadiah atau kepastiah hukum yang mengatur tentang pemberian bonus atau hadiah kepada pejabat negara yang sedang memegang jabatan strategis. Saya teringat kepada seorang legendaris Betawi, bang Benyamin Suaib ketika dia mengundurkan diri dari tukang kenek sebuah angkutan umum PPD dengan terayek lapangan Banteng – pasar Rumput, dia bertutur berhenti dari pekerjaannya karena gaji belum dapet tapi sering diajari korupsi oleh sopirnya. Korupsi yang dimaksud adalah, ongkos penumpang ditarik tapi tiket tidak diberikan, Biasanya diperusahaan angkutan milik negara, menerima hasil setoran dari jumlah banyaknya jumlah karcis yang habis, maka sejumlah itu juga seorang supir harus meyetorkannya dan seorang sopir serta keneknya bisa mengambil dua keuntungan, pertama dari gaji rutin perbulan dan yang kedua dari bayaran penumpang yang tidak diberikan tiketnya. Hal itu sudah menjadi budaya dari sistem yang lemah, sehingga mudah diperdaya. Dan banyak lagi contoh lain yang mungkin kita secara tidak terasa sudah melakukannya baik kepada organisasi atau kepada institusi kita sendiri, yang mungkin nilainya tidak seberapa besar namun, dari segi moral sudah merusak dan juga mengenyampingkan hati nurani yang selalu menolak dan juga membeci akan hal itu.
Maka, ketika seorang intelek atau seorang ulama memasuki dunia birokrasi dia harus mempelajari dunia yang dia jalani saat itu, bukan menjalankan kebiasaan lama yang belum tentu sama dengan yang baru ini. Contohnya ketika seorang Kyai mendapatkan amplop dari seorang wali murid di sebuah pondok pesantren hal itu sah saja, karena mungkin rasa terima kasih seorang wali murid kepada sang Kyai. Namun, ketika seorang Kyai pindah kedunia birokrasi hal itu tidak berlaku lagi. Apabila seorang intelek atau kyai menduduki jabatan yang srategis di sebuh lembaga negara, kemudian ada seseorang yang datang memberikan uang, hal itu bisa saja menjadi suatu sogokkan untuk menggolkan suatu tujuan tertentu.
Tindak pidana penyalahgunaan wewenang adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang memiliki jabatan atau kedudukan. Seseorang tersebut menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan tersebut untuk tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau korporasi, yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara. Hal ini selengkapnya disebutkan dalam pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999. Namun, UU tindak pidana korupsi ini belum mengatur secara detail tentang korupsi itu sendiri, sehingga masih banyak cela yang bisa dilakukan oleh seorang koruptor untuk melakukan aksinya. Kelemahan inilah yang harus kita perbaiki sekarang ini, untuk menentukan kepastian hukum yang menjamin keadilan bagi masyarakat banyak bukan untuk golongan atau pribadi. Karena setiap orang bisa saja bebas dari jeratan hukum atas asas praduga tak bersalah ( principle of lawfullness ) menurut asas ini, semua perbuatan dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nash hukum. Selanjutnya, setiap orang tidak bersalah untuk suatu perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahanya pada suatu kejahatan tanpa ada keraguan. Jika suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus dibebaskan.
Maka, tidaklah cukup kita menjadi seorang intelek, tanpa mempertebal iman, dan tak cukup pula kita mempertebal iman, tanpa mempelajari sistem yang ada, sehingga kita tidak mudah terpedaya oleh sistem, dan kemudian terjerumus dalam dunia yang nista. Begitu juga tidaklah cukup kita mempelajari dan memperbaiki sistem tanpa adanya perbaikan dalam bidang kultur bangsa, yang menganggap hal-hal remeh seperti bonus, hadiah dan yang sejenisnya sebagai hal yang lumrah dilakukan, bukan karena besar atau kecilnya bonus tersebut, tetapi dari yang kecil itulah menimbulkan permasalahan yang besar. Mari kita ciptakan sebuah budaya malu untuk menerima hal yang bukan hak dan milik kita. Karena sesungguhnya keintelektualan tidak cukup untuk membangun suatu perbaikan tanpa adanya perbaikan sistem, dan juga kultur masyarakat kita. Wallahu a'lam bishawab

Referensi

1. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. Pengantar Ilmu Hukum, 1999.
2. Topo Santoso,S.H.,M.H., Membumikan Hukum Pidana Islam Penegakkan syariat dalam wacana dan Agenda, 2003.
3. DR. KH. Moh. Mashuri Na'im, MA ( et.al ), NU Melawan Korupsi Kajian Tafsir dan Fiqh, 2006
4. Manna' al-Kattan, Annidzam al-Qodhai fi 'Ahdi al-Nabawi wa al-Ahdi al-khilafah al-Rasyidah.1993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar