“Jangan ada dusta diantara kita….” sebuah kalimat yang tidak asing lagi bagi kita. Seringkali kalimat ini diucapkan oleh seseorang kepada kekasihnya, oleh para politisi kepada rekan-rekannya di parlemen atau di eksekutive. Kalimat ini pendek, namun memiliki arti dan dampak yang sangat besar bagi sebuah persahabatan, rumah tangga, bernegara bahkan beragama.
Diriwayatkan dalam sebuah atsar, ada seorang pemuda yang gemar sekali mencuri, berzina dan bermabuk-mabukan. Hal tersebut sudah menjadi kegemarannya setiap hari. Tak pernah ia tinggalkan kebiasaannya barang sesaat.
Maka pada suatu ketika pemuda ini merasa bosan dengan perbuatannya dan ingin bertaubat. Datanglah ia kepada Rasulullah SAW, ”yaa Rasulullah, aku ingin bertaubat dan memeluk agama Islam. Apa sajakah syarat-syarat yang aku harus penuhi?”. Rasulullah pun menjawab dengan singkat; “ janganlah engkau berdusta wahai anak muda”.
”Kemudian apa lagi ya Rasulullah?” Rasulullah pun menjawab, “janganlah engaku berdusta wahai anak muda”, pesan itu Rasul ulang hingga tiga kali. Lalu si pemuda ini pergi meninggalkan Rasulullah, sambil berkata dalam hati, “alangkah mudahnya apa yang diminta Nabi yang mulia ini dariku”.
Setelah pertemuannya dengan Nabi, pemuda tersebut selalu berfikir setiap kali ingin melakukan kebiasaan lamanya. Ketika ia ingin mencuri, ia teringat dengan pesan Nabi kepadanya. ”Seandainya aku mencuri dan kemudian Rasulullah bertanya mengenai hal ini, bagaimana aku harus menjawabnya”, pikir sang pemuda. ”Jika aku menjawab bahwa aku telah mencuri, maka aku akan dihukum potong tangan. Namun jika aku menyembunyikan perbuatanku, maka sesunggunya aku telah berdusta. Padahal hanya ini permintaan Rasul kepadaku untuk menjadi seorang muslim”. Maka begitu pula ketika pemuda ini berniat untuk kembali berzina dan mabuk. Muncullah pertanyaan yang sama dalam benaknya. Intinya, hanya dengan bedusta maka Rasul tidak akan mengetahui perbuatannya. Akan tetapi dengan demikian berarti ia menyalahi permintaan Rasul kepadanya. Sang pemuda akhirnya mengurungkan niatnya untuk melakukan kebiasaan lamanya tersebut.
Sebagaimana nasehat Ali bin Abi Tholib kepada anaknya Hasan, pada saat ia ditikam oleh Ibnu Muljam : ” Jauhilah berkawan dengan pembohong, karena ia akan menggambarkan dekat, apa yang sesungguhnya jauh, dan menjauhkan apa yang sesungguhnya dekat”.
Umar bin Abdul Aziz berbicara kepada Alwalid bin Abdul Malik tentang sesuatu, lalu Al Walid berkata kepadanya “ kamu bedusta?”. Umar bin Abdul Aziz berkata, ”demi Allah, aku tidak pernah berdusta semenjak aku tahu bahwa dusta membuat buruk pelakunya”.
Berdusta seringkali dilakukan seseorang hanya untuk menyelamatkan dirinya, atau untuk menyelamatkan jabatannya. Ini dilakukan karena dusta seringkali dianggap hanya sekedar dosa ringan atau bahkan angin lalu. Akhirnya dengan mudah seseorang bersumpah palsu atas nama Allah.
Akan tetapi sejatinya dusta membawa kita kepada kedurhakaan, dan kedurhakaan itu menjerumuskan kita kepada api neraka. Dusta diharamkan bukan karena dusta itu sendiri, tetapi karena bahaya yang terkandung di dalamnya baik terhadap orang yang kita dustai secara langsung ataupun orang lain yang terkena imbasnya.
Jikalah kita menamkan sikap jujur pada diri kita, dalam setiap langkah dan perbuatan, setiap amanah yang kita jalankan, sungguh roda kehidupan akan berjalan pada jalannya. Keadaan yang ideal pun bukan lagi sekedar ilusi semata. Dengan kejujuran, tidak akan ada lagi anak durhaka karena berdusta pada orang tuanya. Tidak ada lagi suami peselingkuh karena keujurannya pada istrinya. Tidak lagi ada anak buah berdusta pada atasannya, dan begitu pula sebaliknya tidak ada lagi pemimpin yang mendustai rakyatnya. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar