Jumat, 15 Oktober 2010

Negeri Tipuan


 Memangnya masih perlu ada pemimpin? Pertanyaan ini sering muncul dalam benak kita. Pernah tejadi dalam sebuah organisasi yang kecil, di antara anggotanya tidak ada yang mau jadi pemimpin. Dengan alasan bahwa jumlah mereka sedikit dan juga tidak adanya kegiatan yang harus dilaksanakan. Salah satu di antara mereka yang tak mau menjadi pemimpin Cuma ngrasani: " Paling-paling klo ada pemimpin kegiatannya juga begitu-begitu aja".
Keharusan adanya pemimpin pada setiap komunitas sekecil apa pun tidaklah perlu diingkari, baik oleh norma sosial ataupun norma agama. Sebab manusia sebagai makhluk sosial dalam memenuhi kebutuhan hidupnya selalu berkumpul, bergaul dan berinteraksi dengan sesamanya.
            Imam Ahmad dalam kitab Musnadnya meriwayatkan hadist: "Tidak halal bagi tiga orang berada di padang dari bumi, kecuali harus menjadikan salah satunya seorang pemimpin". Pemimpin dengan kepemimpinan memang berbeda. Yang satu kata benda sedangkan yang lain kata abstrak. Namun, keduanya tidak dapat dipisahkan dalam konsep yang normal.
            Bila politik diartikan sebagai kekuasaan formal, kepemimpinan politik adalah kekuatan untuk menjalankan kekuasaan atas anggota kelompok kecil maupun besar untuk mencapai tujuan tertentu. Yusuf al-Qordhawi menegaskan bahwa siyasah ialah tindakan penguasa atas mashlahah yang dipertimbangkan olehnya.  Dari sini kita bisa menyimpulkan apapun pengertian siyasah, dia adalah suatu paradigma yang diintikan pada pencapaian maslahah di dunia maupun di akhirat. Dalam masyarakat kemashlahatan itu diarahkan pada pencapaian umum Syari'ah (Maqosid al- Syariat), dengan pengertian yang luas dan dinamis sehingga mampu mengakomodasi segala bentuk transformasi sosial yang terjadi.
            khalifah Abu Bakar Shiddiq ra, pernah berkata dalam salah satu pidatonya: "Kami telah diberi kekuasaan atas kalian padahal kami bukanlah yang terbaik di antara kalian. Apabila kami benar, bantulah kami. Tetapi apabila kami salah atau menyimpang, luruskanlah kami. Taatilah kami sepanjang kami mentaati Allah dalam memimpin kalian, tetapi apabila kami bermasiat terhadap Allah kalian tidak wajib taat kepada kami". Prilaku dan sikap yang seperti ini jarang kita dapati pada diri pemimpin-pemimpin kita, bahkan yang sering kita dapati adalah ketika melakukan kesalahan mereka enggan untuk dikoreksi dan bahkan cenderung untuk membela diri. Seandainya contoh sikap yang diberikan oleh khalifah Abu Bakar ini bisa kita jalankan, tentunya akan  membentuk suatu iklim politik yang fair. Plato pernah berkata: " Jika Orang-orang Baik menolak untuk berkuasa, mereka akan diperintah oleh orang-orang yang kurang begitu baik, dibandingkan dengan mereka sendiri".
            Iklim politik yang kita inginkan adalah iklim yang bisa membawa masyarakat kearah kesejahteraan, dan menjadikan negara makin bermartabat. Bukan malah saling minta dan mencari dukungan Negara-negara Barat untuk melanggengkan dan meraih kekuasaan kembali. Jika hal itu yang dilakukan, maka setelah meraih kekuasaan itu kita akan membela kepentingan negara-negara yang menjadi backing pada kekuasaan kita.
            Ini sering terjadi di berbagai negara-negara ketiga, seperti Indonesia, Pakistan dll, Kita lihat saja sekarang bagaimana para pemimpin-pemimpin politik di Pakistan dengan terang-terangan mengumumkan bahwa negara ini mendukung saya. Bukan malah membangun kepercayaan rakyat kepada sikap dan kepemimpinan mereka, yang bertujuan untuk mencapai kemashlahatan baik di dunia dan akhirat. Kalau hanya untuk kepentingan dunia kemudian kita menjual ideologi negara kepada negara Barat. Maka kemashalahatan dunia saja yang akan kita dapat. Namun, kemashlahatan akhirat akan kita jauhi. Bukankah orang bijak pernah berkata: " Dunia ini negeri tipuan dan akhirat negeri keabadian".
            Kalau hal di atas yang dilakukan oleh Pemimpin Politik di negara manapun dia berada. Maka, akan berimplikasi pada praktek politik yang bersifat " Machavellistis" yaitu politik sebagai alat untuk melakukan segala sesuatu, baik atau buruk, tanpa mengindahkan kesusilaan, norma  dan  berlaku seakan bernuansa positivistik (bebas nilai). Inilah yang sering membut orang tidak pernah percaya terhadap para politikus, dan cenderung timbul perasaan curiga terhadap semua politikus. Padahal perasaan seperti itu tidak perlu terjadi seandainya para pemimpin-pemimpin politik dapat berlaku adil, amanah dalam menjalankan tugasnya.
            Oleh sebab itu untuk mengobati rasa kecewa masyarakat dengan sistem dan kondisi rill praktik politik. Dengan cara mengarahkan kekecewaan itu dengan tindakan positif, bukan malah rame-rame meninggalkan politik. Dan juga kita berupaya keras melakukan langkah perbaikan moralitas politik, serta menjadikan politik sebagai cara untuk menjaga ajaran Islam agar tetap menjadi pedoman kehidupan manusia sehingga tidak melenceng dari jalan yang diridhoi-Nya.Wallahu a'lam bishawab
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar