Jumat, 15 Oktober 2010

Korupsi yang Lumrah


Korupsi bukanlah hal yang asing untuk didengar.  Bahkan tidak ada satu kalimat pun yang luput dari pemberitaan. Tak ada satu baris pun yang ditinggalkan dalam media masa. Bukan hanya masyarakat perkotaan saja yang mengenal istilah ini, bahkan orang yang tinggal di perdalaman pun hampir kenal dan paham dengan kalimat korupsi.
Kadang kita juga sering menuduh para pejabat sering melakukan korupsi,  dari tingkat yang paling tinggi, mulai dari Presiden, Menteri, Gubernur, Wali Kota, Bupati, bahkan sampai tingkat RT. Kadang kita tidak sadar bahwa di sekitar, atau bahkan diri kita  sudah melakukan korupsi. Bukan kah kata pepatah mengatakan gajah di muka tak tampak, kuman di seberang lautan tampak. Mari kita lihat proyek  pemerintah yang baru, yaitu PNPM. Ini adalah proyek untuk memperbaiki fasilitas umum, masyarakat yang akan menggunakannya. Seandainya kita cek dan kita urut dari awal, berapa dana dari pemerintah, dan berapa yang sampai kepada pemborong, lalu jatah-jatah pungli-pungli. Jawabannya tentu tidak sesuai dengan dana yang direncanakan, menyebabkan kualitas sarana-sarana umum pun dipertanyakan kwalitasnya. Ini masih hal yang kecil, dan masih banyak kasus-kasus lain yang setiap individu dari kita mengetahuinya dan menyaksikannya.
Saya terkejut ketika melihat acara dialog di Metro TV, dalam program Mata Najwa. Narasumbernya adalah  mantan staf ahli anggota Dewan, yang sering mengikuti kunjungan-kunjungan study banding keluar negeri. Dia mengatakan  sebagian anggota dewan yang pergi kunjungan keluar negeri tidak menyiapkan diri dengan baik, akhirnya diserahkan kepada staf ahlinya, hal ini disebabkan karena keterbatasan dalam berbahasa. Kemudian tidak sesuai dengan jadwal yang sudah direncanakan, karena disibukkan dengan belanja dan cari oleh-oleh. Yang lebih parah lagi, ada anggota dewan yang sudah menandatangani untuk pergi ke luar negeri sampai di bandara dibatalkan. Jelasnya. Saya tidak tau jelas system peraturan di sekertaris jenderal DPR/MPR tentang dana yang sudah keluar. Apakah dikembalikan lagi ke kas atau menjadi hak anggota Dewan yang tidak jadi pergi.
Hal ini perlu diperjelas peraturan dan sistemnya. Karena ada anggota dewan yang jujur untuk mengembalikan dana yang tidak jadi dipakai, walau sudah tertulis sebagai dana pengeluaran. Namun, timbul kecurigaan, jangan–jangan dana yang saya kembalikan tidak dimasukkan kembali ke dalam kas, dan akan diambil oleh oknum tertentu di sekertariatan.
Hal ini sudah lumrah didengar di dunia birokrasi, saya pernah mendengar seorang teman berbicara kepada saya tentang pengguanaan dana. Dia mengatakan dengan tidak malu-malu, bahwa dana yang sudah keluar ya harus dihabiskan, tidak mungkin dikembalikan kembali. Karena itu semua sudah tertulis sebagai pengeluaran.
Pertanyaan yang muncul adalah, apakah hal ini dinamakan korupsi? Kalau iya, pernakah kita melakukannya?.
Tentunya harus ada perbaikan system pengeluaran uang di semua birokrasi, jangan sampai kita terjebak di lingkaran syaitan, karena ketidakjelasan system dan aturan. Bukan hanya itu, memperbaiki diri sendiri jauh lebih utama dari system dan peraturan itu sendiri. Karena secanggih apa pun, sebaik apa pun peraturan dan system, tapi diri kita yang kotor. Korupsi akan tetap meraja rela. Wallahu ’alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar